more"/> more">
Merespons Krisis Dengan Syukur Atau Sungut?
Last Updated : Oct 07, 2022  |  Created by : Administrator  |  380 views

Rintangan dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk mengalami pertolongan atau pun mujizat Allah dan untuk itu kita perlu melihat rintangan dari sudut pandang Allah sehingga kita dimampukan untuk merespons secara positif yaitu dengan sikap bersyukur.

Joshua Choonmin Kang

 

Oleh Marlia Ernawati, M.Div*)

Krisis adalah kata yang bisa mewakili kondisi saat ini. Krisis dapat diartikan sebagai peristiwa yang tidak stabil dan berbahaya, yang dapat berpengaruh secara negatif kepada individu, kelompok, komunitas bahkan seluruh masyarakat. Krisis apa yang sedang kita hadapi? Pandemi Covid-19 memang mulai pulih, tetapi krisis ini belum berlalu. Perang antara Ukraina dan Rusia belum usai. Kenaikan BBM di bulan September tentu juga berdampak memperberat kondisi ekonomi masyarakat. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat menambah situasi krisis dalam hidup kita.

Tiap orang memiliki cara berbeda dalam merespons krisis. Dua cara merespons krisis yang umum dilakukan setiap orang: bersyukur atau bersungut. Bersungut-sungut, mengeluh, atau mempertanyakan hal yang terjadi kepada Tuhan adalah respons yang umum. Sedangkan bersyukur merupakan respons terhadap krisis hidup yang tidak biasa. Mari kita bayangkan, seseorang mengalami masalah yang terjadi secara beruntun di masa pandemi, seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang dikasihi, dan kehilangan harta benda. Tentu hal ini akan sangat berat untuk dihadapi, dan tentu akan sulit baginya untuk mengucap syukur. Lalu bagaimana kita dapat merespons krisis dengan syukur?

Bersyukur bukanlah sikap otomatis. Ia tidak keluar begitu saja dari hati, pikiran, perkataan, dan tindakan kita. Natur diri kita sebagai manusia berdosa adalah bersungut-sungut, bukan bersyukur. Rasul Paulus menasihati jemaat di Tesalonika untuk mengucap syukur dalam segala hal (1Tes. 5:18). Dalam bahasa aslinya, kata “mengucap syukurlah” di sini menggunakan kata imperatif eucharisteo. Di ayat 14-18, Paulus mengajarkan dasar-dasar kehidupan Kristen kepada jemaat Tesalonika, untuk mengucap syukur dalam segala hal sebagai wujud pengenalan mereka akan Tuhan.

Mengucap syukur dalam segala hal bukan sesuatu yang mudah. Tentu akan sangat mudah untuk bersyukur ketika segala sesuatu berjalan baik, tetapi tidak mudah jika hal yang terjadi adalah hal negatif dan berdampak buruk pada hidup kita. Mengucap syukur perlu latihan setiap hari hingga menjadi sebuah kebiasaan yang bersifat permanen. Paulus juga mengajarkan bahwa sikap mengucap syukur merupakan hal yang dikehendaki Allah dalam Kristus Yesus. Perintah mengucap syukur kemudian disandingkan dengan “bersukacitalah senantiasa” dan “tetaplah berdoa” (ayat 16-17). Jadi, sesuatu yang dikehendaki Allah harus dikejar dan diperjuangkan untuk diwujudkan dalam hidup kita yang percaya kepada Kristus. 

Rintangan utama dalam mengucap syukur adalah diri kita sendiri. Apa yang kita pikirkan berdasarkan nilai-nilai yang kita pegang dapat menjadi rintangan kita dalam mengucap syukur. Joshua Choonmin Kang dalam bukunya “Spiritualitas Kebersyukuran,” mengatakan bahwa rintangan dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk mengalami pertolongan atau mujizat Allah. Kita perlu melihat rintangan dari sudut pandang Allah, sehingga kita dimampukan untuk merespons secara positif yaitu dengan sikap bersyukur.

Pengenalan akan Allah dan diri menjadi dasar utama untuk mengucap syukur. Jika kita menghayati “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan buat kita” (Roma 8:28), kita dapat menerima situasi yang paling buruk sekalipun sebagai sebuah kebaikan dari Allah. Ketika kita memahami bahwa kita adalah anak-anak Allah, dimana Allah pasti akan mendatangkan kebaikan-Nya bagi kita, maka akan kita akan lebih mudah menerima hal-hal yang negatif yang menimpa kita. Ini tentu tidak mudah, tetapi pengenalan akan Allah dan diri yang utuh akan menopang komitmen kita untuk bersyukur.

Horatio Spafford, penulis lagu “It is well with my soul,” telah menginspirasi banyak orang. Spafford kehilangan putra satu-satunya karena demam berdarah pada tahun 1870. Setahun kemudian, terjadi tragedi bernama The Great Chicago Fire yang membakar hampir seluruh aset propertinya. Di tahun berikutnya, yaitu 1873, ia kehilangan keempat putrinya yang sedang melakukan perjalanan laut bersama istrinya untuk menghadiri seminar D. L. Moody. Dalam kecelakaan tersebut hanya istrinya yang selamat. Spafford kemudian berangkat menyusul istrinya dengan melewati lautan di mana keempat putrinya meninggal, dan ia memilih untuk merespons tragedi dalam hidupnya dengan memuji Tuhan dengan menciptakan lagu “It is Well With My Soul.”

Sikap bersyukur atau bersungut adalah pilihan kita pribadi. Bagaimana respons kita terhadap krisis yang sedang kita hadapi? (* Penulis melayani Pelayanan Siswa di Kota Surabaya)


Subscribe To Our Newsletter
Subscribe to catch our monthly newsletter, latest updates, and upcoming events
RELATED UPDATES