more"/> more">
Oleh Lidya Sanoebari
Bagai memegang sekeping mata uang dengan dua sisi yang tak terpisahkan, begitulah posisi orang Kristen dalam memaknai dan merayakan Natal. Di sisi yang satu, ia harus mensyukuri betapa Kristus telah memberi anugerah berkelimpahan melalui pengorbanan diri-Nya. Di sisi kedua yang tak boleh diabaikan, adalah bahwa umat-Nya mesti menyebarkan anugerah melimpah itu kepada mereka yang tidak mengenal-Nya.
Apakah dengan perayaan Natal, orang Kristen bertahun-tahun sudah menjadi solusi yang tepat untuk mewakili “dua sisi keping mata uang” tersebut? Faktanya persiapan perayaan Natal di gedung-gedung gereja berlangsung 2-3 bulan sebelum Desember, untuk mengantisipasi kegagalan show atau menghindari celaan tetamu. Bukankah budget untuk dekorasi, koreografi dan konsumsi jauh lebih besar daripada bantuan untuk orang miskin? Jika itu adalah cara mensyukuri anugerah Allah, bagi saya itu adalah cara yang keliru. Allah tidak pernah memerintahkan perayaan Natal, menyambut kedatangan putra-Nya dengan gemerlap dunia.
Bagaimana jika perayaan Natal tidak perlu dilakukan? Apakah akan terjadi kesedihan/kemurungan di wajah Yesus? Apakah itu akan terjadi cela bagi seluruh dunia karena sebuah ritual perayaan Natal yang sudah ribuan tahun kini diabaikan oleh orang Kristen? Apakah sangat merugikan ketika kerlap-kerlip lampu Natal ternyata padam dan tidak dipedulikan oleh gereja-Nya di bulan Desember? Apakah yang sungguh-sungguh diinginkan Yesus adalah pesta Natal dengan budget jutaan rupiah?
Lukas dalam Injil yang ditulisnya pasal 4:18-19 mencatat pelayanan pertama Yesus di kampung halaman-Nya untuk mendeklarasikan tujuan kedatangan-Nya ke bumi ini. Ia tidak menginginkan perayaan dengan ratusan domba jantan atau pun kambing. Ia tidak menginginkan massa dikumpulkan untuk menyaksikan pelayanan perdana-Nya. Ia justru memberitahukan kepada seluruh dunia tujuan kedatangan-Nya dengan mengutip Kitab Yesaya :
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku. untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."
Jika Sang Hamba, yang disebut Nabi Yesaya dalam suratnya Pasal 61:1-2 itu datang untuk orang miskin, membebaskan orang tertawan, terpenjara, menghibur yang berkabung dan remuk hati, lalu ke mana orang Kristen pergi saat Natal? Berapa banyak orang yang tertawan hatinya dibebaskan melalui perayaan Natal setiap bulan Desember? Berapa banyak orang yang terpenjara mendengar anugerah Allah saat Natal?
Atau jangan-jangan, perayaan Natal umatNya saat ini sudah berbeda arah dengan tujuan kedatangan Tuhan?
El Sanoebari
Gemar membaca dan menulis sejak dulu. Saat ini bekerja mengelola toko buku Kainos dan Perpustakaan di Mataram. Hobinya menulis masih digeluti sampai saat ini.