more"/> more">
“Yang namanya hidup itu ya pasti ada masalah terus. Ada proses kehidupan yang harus dijalani. Mana bisa hidup damai? Damai itu nanti kalo sudah dipanggil Tuhan. Rest in Peace”, demikian terdengar celetuk seseorang di sebuah kedai kopi. Raut wajah lawan bicaranya terlihat begitu tertekan sembari menyeruput secangkir kopi panas dan membalas ucapan kawannya,“Pantesan bayi terlahir itu menangis, rupanya hidup ini memang penuh masalah. Pantesan juga wajah orang meninggal dalam Tuhan itu damai sejahtera. Seperti tidur pulas,sudah bebas dari masalah kehidupan.”
Begitu banyak hal yang meresahkan di akhir tahun 2022. Gempa Cianjur dalam sekejap mata merenggut ratusan nyawa. Berita pemecatan massal bermunculan. COVID -19 varian baru pun seolah enggan menyudahi status pandemi global. Perang Ukraina dan Rusia yang berkepanjangan menambah problematika global. Ancaman resesi di tahun 2023 pun membahana. Ada rasa gentar dan khawatir memasuki tahun 2023. Berita-berita terkini marak dengan kasus kriminal dari pembunuhan berencana hingga kematian tak wajar satu keluarga. Bagaimana hati dan pikiran hendak memiliki damai jika dibombardir berita-berita meresahkan ini?
Jangan khawatir. Bukankah burung di udara Tuhan pelihara? Demikian pula kita dipelihara-Nya. Yohanes 14:27 mencatat perkataan Yesus “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Pikiran kita adalah medan pertempuran. Kita memilih apa yang kita ijinkan bercokol di pikiran. Jika kita memilih dikuasai rasa takut dan khawatir, maka hidup kita tidak akan memiliki damai sejahtera. Pilihan ada di tangan kita. Apa yang hendak kita jadikan fokus hidup kita?
Sebuah pesan Firman Tuhan tercatat di kitab Yesaya 48 ayat 18: “Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti.” Apa yang kita pilih untuk kita jadikan fokus hidup, itulah yang menentukan hidup kita. Jika kita memilih memperhatikan perintah-perintah Tuhan, maka damai sejahtera di hidup kita akan seperti sungai yang tidak pernah kering dan kebahagiaan di hidup kita akan seperti gelombang laut yang tidak pernah berhenti. Ternyata tak harus menunggu dipanggil Allah untuk tinggal dan berada di dalam damai-Nya. Tak hanya “Rest in Peace”seperti tertera di batu nisan dan obituari, kita pun bisa memilih untuk Live in Peace!
Sebab live in peace adalah pilihan. Hidup tanpa tercemar oleh kekhawatiran dan ketakutan adalah pilihan. Bukankah bagaimana kita menjalani hidup ini adalah pilihan? Martin Luther pernah berkata bahwa kita tidak bisa melarang burung terbang di kepala kita, tetapi kita bisa memilih untuk tidak mengijinkan burung itu bersarang di kepala kita. Bukankah kehendak bebas membedakan manusia daripada hewan? Manusia bisa memilih untuk tetap damai di hati, tak tergantung pada situasi dan keadaan. Tidak ada yang bisa merenggut damai batin yang dianugerahkan-Nya kecuali kita mengizinkannya. Mengutip Debi Pearl dalam buku Created to Be His Helpmeet, reaksi kita menentukan siapa diri kita sesungguhnya. Respon kita ada dalam kendali kita. Kita bisa memilih untuk tetap hidup dalam damai Allah apapun kondisinya. Bukankah kekhawatiran kita juga tidak bisa menambah sehasta saja dari jalan hidup kita?
Lakukan apa yang bisa kita lakukan dengan sebaik-baiknya, selebihnya kita berserah pada anugerah Tuhan. Do your best and let God do the rest. Ada hal-hal dalam hidup yang tidak dapat kita ubah karena memang bukan berada dalam kendali kita. Namun, Allah berdaulat dan memegang kendali penuh atas hidup anak-anak-Nya. Kiranya kita tidak kehilangan damai sejahtera di hidup kita dan bisa memilih untuk tetap live in peace.
Live in peace, jangan menunggu Rest in Peace. Menutup tulisan ini dengan Serenity Prayer:
God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, courage to change the things I can and the wisdom to know the diference.
(Tuhan, berikanku keteduhan untuk menerima apa yang tidak bisa diubah, keberanian untuk mengubah apa yang bisa diubah, dan hikmat untuk membedakan keduanya)
Profil Penulis: Yunie Sutanto adalah ibu rumah tangga yang memiliki dua anak yang sekolah rumah. Ia juga aktif menjadi penulis lepas. Beberapa buku antologi sudah diterbitkannya. Ia tinggal di Jakarta dan dapat dihubungi di akun ig: @agendaiburumahtangga