more"/> more">
Didit Kama Adi Putra, S.Psi.
Kita mungkin pernah mengalami fase dimana kita sudah mendapatkan panggilan Allah, tetapi masih memiliki respons untuk menunda dalam menaati panggilan tersebut. Sering kali kekhawatiran, harapan keluarga dan ambisi diri membuat kita tidak merespons panggilan Allah. Yeremia memberikan teladan yang baik tentang bagaimana merespons panggilan Allah dengan ketaatan dan kesetiaan.
Siapakah Yeremia? Ia adalah putra Imam Hilkia, berasal dari salah satu kota imam di Anatot tanah Benyamin (1:1). Yeremia dipanggil untuk menjadi seorang nabi di kerajaan Yehuda. Yeremia tercatat sebagai nabi yang hidup di pemerintahan 5 di kerajaan Yehuda.
Dalam Yeremia 5:1, kita melihat bahwa ia dipanggil sebagai nabi sejak dalam kandungan. Artinya, sebelum lahir di bumi Tuhan sudah memilih dan menetapkan Yeremia sebagai nabi. Tuhan menegaskan bahwa Ia telah merancangkan rancangan damai sejahtera bagi Yeremia, bukan rancangan kecelakaan (5:11). Rancangan damai sejahtera adalah rancangan khusus/spesial bagi keturunan orang percaya.
Dalam bagian itu kita juga belajar bahwa kekudusan adalah syarat mengalami rancangan damai sejahtera dari Tuhan (Yer. 1:5b). Tanpa kekudusan, manusia tidak dapat melihat/mengalami Tuhan. Tidak sampai di situ, ada sebuah tindakan yang harus kita lakukan selanjutnya, yaitu berani melangkah. Berani melangkah dengan iman adalah syarat untuk melihat karya Tuhan. Dalam Yeremia 1:6-8, Yeremia menunjukkan beberapa keraguan dengan mengatakan bahwa ia tidak pandai bicara sebab ia masih muda. Tetapi perhatikan bagaimana Tuhan menjawabnya: “Sesungguhnya, Aku menaruh perkataan-perkataan-Ku ke dalam mulutmu” (Yer. 1:9). Yeremia tidak butuh kepandaian bicara karena Allah sendirilah yang akan menaruh perkataan-perkataan-Nya pada mulutnya. Sesungguhnya Tuhan tahu ketakutan-ketakutan kita ketika mengerjakan panggilan-Nya, dan Ia juga menyediakan jalan keluar ketika kita menghadapi ketakutan.
Dengan membandingkan pasal 1:4-10 dengan 20:7-18, kita melihat betapa pentingnya Allah memanggil dengan khusus kepada Yeremia. Di pasal ini Yeremia secara jujur mengungkapkan kekecewaan dan penderitaannya. Bukan tanpa alasan kalau dia dikenal sebagai “nabi yang meratap” (the weeping prophet). Ratapan tersebut juga dapat dikatakan sebagai refleksi personal Yeremia terhadap panggilan Tuhan atas dirinya.
Cara Yeremia merepresentasikan pergumulannya memberi pencerahan bagaimana memahami kedaulatan Allah dan kebebasan manusia. Ia merasa tetap bebas (“Yeremia membiarkan dirinya dibujuk”), tetapi di saat yang sama menyadari bahwa kehendak Allah terlalu kuat untuk dia (“Engkau membujuk aku, Engkau terlalu kuat bagiku, Engkau menundukkan aku”). Apapun yang menjadi keberatan Yeremia telah ditolak dan diatasi oleh Allah (1:6-10). Pada saat Yeremia berniat berhenti dari pelayanannya, dia merasa ada sesuatu di dalam dirinya yang membuat dia tidak mampu untuk berhenti (20:9).
Yeremia tetap mengalami realisasi janji Allah (20:12-13). Berkali-kali Allah menyertai dan melepaskan dia (1:8; 20:11, 13). Apakah pertolongan ini membuat Yeremia tidak pernah mengeluh lagi? Sama sekali tidak! Yeremia bahkan tidak mengakhiri ratapannya dengan sebuah pujian atau pernyataan iman. Ratapannya berakhir dengan penyesalan terhadap kelahirannya. Walaupun demikian, Yeremia sama sekali tidak pernah berhenti melayani Tuhan. Di tengah perasaan yang terus bergejolak dan situasi pelayanan yang tidak menentu, ia tetap menjalankan panggilan atas dirinya dengan setia.
Lantas, ada di posisi manakah kita saat ini? Bagaimana dengan kita yang saat ini mungkin dalam fase meragukan panggilan Allah atau mungkin sudah mendapatkan panggilan Allah namun masih takut untuk melangkah? Sebagaimana Allah juga meneguhkan dan memperlengkapi Yeremia, maka Ia pun juga pasti akan memberikan kita keberanian untuk mengerjakan panggilan, sekaligus memberikan cara-cara untuk kita mengerjakan panggilan itu. Entah panggilan dalam studi, profesi, keluarga ataupun pelayanan yang Allah berikan, tugas kita adalah siap sedia, kemudian melangkah dengan iman untuk melihat karya Allah yang besar dalam hidup dan pelayanan kita. (*Penulis melayani Pelayanan Mahasiswa di Surabaya)