more"/> more">
Oleh Yemima GP
Ayah saya pernah beberapa kali mengajak kami sekeluarga liburan ke Sarangan (Magetan, Jawa Tengah). Jalan yang meliuk-liuk, dipenuhi kabut, lalu saya akan membuka kaca jendela mobil supaya angin dingin itu masuk. Sebuah dingin yang saya nantikan karena saya jenuh dengan kehidupan kota yang panas dan penuh sesak. Kemudian kami akan berkunjung ke Telaga Sarangan. Gambaran tentang Sarangan yang sejuk dan air terjun yang segar membuat saya tenang dan selalu ingin kembali ke sana.
Saya begitu jatuh cinta dengan Sarangan hingga saya pernah punya impian untuk menua memiliki rumah di Sarangan. Saya ingin hidup di sana dalam keteduhan dan jauh dari bising kota. Saya berimajinasi memiliki rumah atau pondok kecil di sana, berkebun sendirian, membuka kedai teh atau berjualan kentang di pasar, pulang di sore hari tanpa dikejar ambisi dunia. Pengalaman ke Sarangan terpatri jelas di benak saya. Hanya mengingat Sarangan saja sudah meneduhkan hati saya.
Sayangnya, pengalaman-pengalaman menyenangkan itu saja tidak cukup untuk menolong saya bertahan. Bahasa kerennya, to cope with the reality.
Tidak ada yang dapat memberikan kelegaan dan kebebasan sejati selain pribadi Allah, yang dapat kita kenali melalui firman Allah dan pengalaman bersama-Nya. Beberapa kali dicatat dalam Alkitab tentang gambaran pribadi Allah dan firman-Nya yang mampu yang membawa ketenangan, kekuatan, kelegaan dan keteduhan. Salah satunya adalah firman Allah melalui nabi Hosea kepada bangsa Israel, “Aku akan seperti embun bagi Israel, maka ia akan berbunga seperti bunga bakung dan akan menjulurkan akar-akarnya seperti pohon hawar” (Hos. 14:6). Hosea bernubuat dan memberi peringatan pada masa yang kelam dalam sejarah Israel, yaitu masa kemunduran dan kejatuhan Kerajaan Utara pada abad ke-8 sebelum Masehi.
Dalam pasal 14, Hosea berbicara tentang ajakan nabi agar Israel bertobat, sehingga mereka dapat kembali menikmati janji pemulihan Allah. Secara khusus ayat 16 menunjukkan sebuah janji pemulihan Allah yang menyejukkan dan meneduhkan. Setelah sekian lama Israel hidup dalam “padang gurun” oleh karena ketidaksetiaan mereka, Allah menjanjikan sebuah masa di mana damai sejahtera Allah hadir dalam kehidupan mereka. Bahkan Allah tidak hanya menjadi “embun pagi”, Ia pun juga menjadi Pribadi yang nyata hadir bersama dengan umat-Nya. Janji itu digenapi di dalam Yesus Kristus yang kelahiran-Nya dirayakan pada momen Natal. Ketika Yesus datang ke dunia, lahir sebagai bayi dalam gendongan Maria, maka “Firman Allah itu telah menjadi manusia dan diam diantara kita” (Yoh. 1:14). Maka ketika Natal, kita sedang merayakan sebuah pemenuhan janji Allah.
Kehadiran dan perjumpaan dengan Sang Mesias, membawa kesukaan besar, bahkan penderitaan dan kesesakan apapun menjadi tidak berarti. Sebagaimana yang diucapkan Simeon, “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel” (Luk. 2:29-31—dengan penekanan). Simeon sekarang memiliki kedamaian karena melihat janji Tuhan digenapi dalam hidupnya.
Ketika kesesakan dan penderitaan terjadi, apa atau siapa yang kita ingat untuk menolong kita bertahan? Tidak ada cara lain yang dapat membuat kita bertahan selain mengingat dan memandang pada Sang Mesias, Yesus Kristus. Memaknai kebenaran bahwa Allah mampu menjadi “embun pagi” bagi hidup kita membutuhkan sebuah usaha terus-menerus untuk menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran. Terus-menerus membaca, merenungkan dan melakukan firman. Terus-menerus berdoa dan berseru pada-Nya. Terus-menerus bersekutu dengan-Nya secara pribadi maupun komunitas.
Mungkin saya masih akan berimajinasi tentang teduhnya Sarangan. Namun tidak hanya itu yang saya perlukan sebab di dalam Kristus, saya—dan kita semua—telah menemukan perteduhan yang sejati. Kita hanya perlu mengarahkan pandangan kita pada-Nya, dan mengingat-ingat firman-Nya karena Yesus yang menjadi embun pagi, damai yang sejati, batu karang yang teguh, akan selalu membersamai kita. Selamat Natal, selamat melanjutkan perjalanan! ( * Penulis melayani di Literatur Perkantas Jatim)