more"/> more">
“Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
(Mat. 27:46; Mrk. 15:34)
Oleh Yusuf Deswanto,M.Div *)
Ketika masih kanak-kanak, Jonathan – anak saya yang kedua, acapkali menatap wajah saya untuk menanti anggukan kepala saya ketika dia hendak mengambil makanan yang tersedia di atas meja tamu. Ketika tatapan saya bertemu dengan tatapannya, dan saya mengangguk, itu berarti perkenan saya untuk apa yang hendak dilakukannya. Menatap atau memandang wajah orang yang kita kasihi menjadi salah satu bahasa kasih yang memberikan peneguhan sekaligus peneduhan. Kita tentu bisa membayangkan apa yang sedang terjadi jika sepasang suami istri yang hidup serumah bahkan tidur bersama, namun saling memalingkan wajah mereka ketika bertemu. Menghadapkan wajah adalah tanda peduli, kasih, dan perkenan. Memalingkan wajah adalah tanda ketidakpedulian, abai, bahkan penolakan.
Mari kita memperhatikan formula berkat yang diperintahkan Allah untuk diucapkan imam kepada jemaat Israel: “TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia. TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera” (Bil. 6:25-26). Berkat kehidupan dalam kasih karunia TUHAN di sini diidentikkan dengan wajah-Nya yang menerangi hidup umat. Tuhan juga ingin umat-Nya tahu bahwa shallom atau kehidupan dalam damai sejahtera ditentukan oleh wajah-Nya yang menghadap kepada mereka. Ini berarti bahwa wajah TUHAN yang menyinari dan memberi hidup, yang memberi perkenan dan damai sejahtera, merupakan anugerahyang harus disyukuri Israel dalam ibadah. Hal ini digemakan pemazmur sebagai “mata TUHAN”: “Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya” (Mzm. 33:18; 34:15).
Seperti wajah seorang bapak yang tersenyum dan mengangguk berkenan kepada anaknya, demikian kira-kira Sang Bapa di sorga ketika Dia berfirman sesaat setelah pembaptisan Yesus Kristus dan saat peristiwa transfigurasi: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mat. 3:17; bdk. 17:5; Luk. 9:35). Itulah momen inagurasi perkenan Bapa kepada Yesus, Sang Anak. Itu menjadi momen peneguhan akan jaminan wajah Bapa di sorga yang selalu dihadapkan kepada Yesus dalam pelayanan-Nya di bumi. Kita perlu menggarisbawahi bahwa momen tersebut adalah sebuah inagurasi, karena kasih dan perkenan Bapa di sorga kepada Sang Anak sudah dinyatakan sejak dari kekal hingga kekal. Karena seperti Roh Kudus adalah satu dengan Bapa dan Anak, demikian pula Anak dan Bapa adalah satu dalam persekutuan kasih yang kekal.
Salah satu dari 7 perkataan Yesus di kayu salib adalah “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46; Mrk. 15:34). Dalam rekonstruksi kronologi waktu, ini adalah perkataan Yesus keempat dari 7 perkataan-Nya di kayu salib. Jika kita melihat 7 perkataan Yesus tersebut sebagai satu rangkaian dalam struktur literatur, maka kita akan menemukan perkataan keempat ini sebagai puncak dan sentral dari 6 perkataan yang lain. “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”menggemakan kembali mazmur Daud dalam Mazmur 22:1. Yesus yang selalu memanggil “Bapa” kepada Allah Bapa di sorga, sesaat ketika Dia berada di atas kayu salib, harus mewakili umat manusia dalam keberdosaannya dan memanggil Bapa dengan sebutan “Allahku”. Relasi kasih kekal antara Sang Bapa dan Sang Anak sesaat harus “terpisah”, “retak”, dan “tercabik” karena Sang Anak harus menjalani kebiadaban salib sebagai Anak Manusia, menjalaninya sebagai hukuman yang mengerikan akibat dosa umat manusia. Ini tentu tidak mudah diterima dengan “logika telanjang” manusia yang terbatas. Hal ini harus dicerna dengan kasih karunia iman.
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” adalah sebuah jeritan penuh penderitaan Anak Manusia yang harus menatap Sang Bapa memalingkan dan membuang wajah-Nya. Salib harus dijalani Sang Anak Manusia dalam kesendirian, tanpa perkenan wajah Bapa. Bagaimana mungkin relasi kasih kekal Bapa dan Anak: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”, sesaat harus terkoyak karena Sang Anak harus ditindas sebagai Anak Manusia seorang diri? Dalam kesunyian dan kesendirian yang mengerikan, Sang Anak harus menatap wajah Sang Bapa yang berpaling dari-Nya. Sang Anak seolah harus menerima kepedihan dan kengerian salib seorang diri, tanpa melihat tatapan dan senyum Bapa-Nya. Inilah sebuah misteri ilahi yang tak mungkin terselami oleh pemikiran manusia berdosa.
Tidak ada yang lebih mengerikan dan menyedihkan bagi Yesus, Sang Anak Manusia, daripada ditinggalkan dan tidak lagi dipandang wajah Bapa-Nya yang penuh kasih. Bukan cambuk dan bukan paku yang begitu mengerikan dan meninggalkan luka penderitaan bagi Sang Anak, melainkan kehilangan senyum kekal wajah Bapa-Nya. Bukan darah yang mengucur dan lambung yang tertusuk tombak yang membawa pedih dan perih Sang Anak, melainkan kehilangan sinar wajah Bapa-Nya sesaat di kayu salib.
Pertanyaannya, untuk apa dan siapa Yesus Kristus menjalani penderitaan mengerikan yang membuat-Nya menjerit, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Itu semua dijalani-Nya dengan kasih untuk kita, manusia yang berdosa. Seharusnya kita yang menjerit penuh putus asa: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”. Seharusnya kita yang kehilangan sinar wajah-Nya yang memberi kita hidup dalam shalom. Seharusnya kita yang menjalani kengerian dan sunyinya kegelapan tanpa terang wajah Bapa di sorga. Kita yang harusnya masuk dalam semua penderitaan kehilangan wajah perkenan TUHAN Allah, namun karena kasih dan ketaatan Yesus Sang Anak, kita diselamatkan dari kengerian ditinggalkan Bapa di sorga. Paskah membawa kita kepada momentum untuk bersyukur dan menghargai hidup di dalam terang wajah Allah, karena Yesus Kristus telah terlebih dahulu menjalani penderitaan ditinggalkan Sang Bapa-Nya. Di dalam kebangkitan Yesus Kristus, kita menemukan kepastian janji-Nya bahwa kita tidak akan ditinggalkan-Nya. Di dalam kebangkitan Kristus, kita akan selalu menatap sinar wajah Bapa kita. Selamat Paskah.
(*Penulis melayani di Perkantas Jember)