more"/> more">
Oleh Lidya Wurru
“Kejenuhan menimpa aku. Rohaniku terpuruk, fisikku lelah, psikisku terjerembab. Aku seperti tidak punya harapan lagi.” Keluh seorang aktivis rohani yang sedang mempersiapkan sebuah event. “Relasi dengan teman kerja tak kunjung membaik, ada saja komentar buruk tentang pekerjaan yang dilakukan. Aku merasa bersalah dengan setiap keputusan pelayanan yang aku ambil. Melihat aktivis rohani lain hidupnya nampak baik-baik saja, aku kacau.” Ia membeberkan segala perasaan dan kondisinya. Saya menyimak. “Menurutmu, bagaimana saya dapat menikmati Tuhan dalam kondisi yang sangat kacau ini?” tanyanya nampak kecewa.
Pengenalan Akan Allah yang benar
Mazmur 16 ditulis oleh Daud untuk menyatakan siapa Tuhan yang dikenalnya, apa yang diinginkan-Nya, dan bagaimana Dia ingin dirinya bertindak. Tidak ada fakta yang pasti tentang kapan, di mana, dan dalam kondisi seperti apa saat Daud menuliskan Mazmur yang disebut Miktam ini. Namun dari kata-kata yang terungkap dalam pujian ini, tersirat bahwa Daud menuliskannya dengan tenang setelah melewati berbagai gejolak dalam kepemimpinannya sebagai raja Israel.
Daud pernah dalam beberapa kondisi yang sangat menekan, seakan Tuhan tidak mengindahkannya. Doa pada pagi hari yang disampaikan Daud: “Berilah telinga kepada perkataanku, ya TUHAN, indahkanlah keluh kesahku” (Mzm. 5:2); “Lesu aku karena mengeluh; setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku” (Mzm. 6:7); “Sebab hidupku habis dalam duka dan tahun-tahun umurku dalam keluh kesah; kekuatanku merosot karena sengsaraku, dan tulang-tulangku menjadi lemah” (Mzm. 30:11).
Mazmur 16 sendiri dapat dibagi menjadi 2 bagian: yaitu pujian kepada Allah karena pengenalannya akan Allah; dan kedua adalah pengalaman dan repons tindakan Daud didasarkan pada pengenalannya akan Alah. Ini menjadi pola yang sama bagi hidup orang percaya, bahwa orang yang memiliki pengetahuan dan relasi yang benar dengan Allah maka ia akan tahu bagaimana respons tindakannya. John Calvin mengatakan, “tanpa mengenal diri tidak ada pengenalan akan Allah, atau sebaliknya.”
Dari Mazmur ini, tampak bahwa Daud tidak mempertanyakan Allah terhadap kondisi buruk yang menimpanya. Daud juga juga tidak tersirat mempersalahkan diri sendiri karena terlalu banyak menghabiskan hidupnya untuk melayani Tuhan. Justru pengenalannya akan Allah mendorongnya menulis Mazmur pujian ini: “tidak ada yang baik selain Tuhan” (ay. 2), “Engkaulah bagian warisanku dan pialaku” (ay. 5); “Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, tidak membiarkan orang kudusMu melihat kebinasaan” (ay. 10); “Engkau memberitahukan jalan kehidupan, di hadapanMu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kananMu ada nikmat senatiasa” (ay. 11). Ini merupakan pernyataan yang didasari oleh pemahaman yang tinggi tentang TUHAN, di mana segala kondisi buruk yang dialami Daud tak menghambat Daud unyuk mengatakan “Tuhan itu baik.”
Pengakuan Yang Jujur
Apakah aktivitas rohani dapat membuat para pelayan rohani menjadi sangat jenuh, dan kehilangan kesegaran? Peter Scazzero dalam Emotionally Healthy Leader menulis, “Defisit rohani umumnya muncul dalam bentuk terlalu banyak aktivitas. Para pemimpin yang tidak sehat melibatkan diri ke dalam banyak aktivitas sehingga tidak bisa lagi ditanggung oleh fisik, spiritualitas dan emosi mereka.” Buku ini membongkar “ruang emosi” pemimpin rohani yang tertutup dan tidak ada orang mampu menyentuhnya. Emosi yang jarang keluar, terjebak dengan begitu banyak kegiatan yang harus diadaptasi oleh tubuh. Ruang ini sering dijaga dengan baik, agar tidak menyakiti orang lain, atau merusak citra rohani pemimpin tersebut. Emosi-emosi yang disembunyikan rapat-rapat menjadikan pemiliknya tidak otentik.
Rutinitas rohani memang terbukti mengancam spiritualitas seseorang, tetapi tidak dapat membuat terjatuh dan terpuruk. Tidak dapat dipungkiri bahwa kewalahan secara fisik akan mempengaruhi emosi seseorang. Penumpukan tugas dan tanggung jawab yang tidak mampu dikelola tentu akan membuat emosi seseorang menjadi tidak sehat. Dalam Mazmur ini, justru Daud tidak berfokus kepada emosinya, namun ia mengakui kebesaran Allah, kedahsyatan Allah dalam hidupnya yang membuatnya mengalami kesegaran rohani.
Daud tidak berfokus kepada dirinya yang kewalahan, dia tidak berkonsentrasi kepada kegiatannya berperang yang melelahkan, dia bahkan tidak menjadikan itu alasan untuk tidak berelasi dengan Tuhan. Daud menjadi contoh yang baik, ia memuji Tuhan (ay. 7) di dalam seluruh hidupnya. Ia melatih spiritual sensitivity yang dimilikinya dengan cara mengenal Allah melalui Firman-Nya, memuji-Nya atas segala yang dialaminya, dan berkomitmen memandang Allah senantiasa.
Pengalaman indah pemazmur Daud adalah:“Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram.” Tidak ada bagian dalam hidup Daud yang dilewatkan oleh Tuhan. Kelelahan fisiknya dibuat menjadi tenteram oleh Allah. Hatinya yang hampir lesu dibuat bersukacita dan jiwanya dibuat bersorak-sorai oleh Allahnya. Bukankah ini sebuah kesegaran rohani yang nyata? Pengenalan Daud akan Allah membawanya kepada pujian dan penyembahan yang jujur. Maka hatinya bersukacita, jiwanya bersorak-sorai, dan tubuhnya diam dengan tentram, memperoleh kesegaran baru.
(* Penulis melayani Pelayanan mahasiswa dan administrasi di Perkantas Mataram)
Dalam kamus Ibrani modern miktam bermakna “epigram” atau juga “a short poem.” Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.