more"/> more">
Oleh Fransisca Riswandani, M.Div*)
Dalam perjalanan hidup, penderitaan adalah realitas yang tak terhindarkan, tanpa memandang status, usia, atau latar belakang. Penderitaan hadir dalam berbagai bentuk pada waktu yang tidak dapat diprediksi, menjadikannya bagian dari dinamika kehidupan yang harus dihadapi. Hal ini juga berlaku bagi murid-murid Kristus, yang meskipun hidup dalam iman dan pengharapan, tidak terbebas dari pengalaman pahit penderitaan.
Ada sisi lain dari penderitaan yang sering terabaikan: tidak semua penderitaan dihindari. Seorang atlet, misalnya, dengan sadar menerima tantangan melatih tubuhnya, meskipun harus menghadapi rasa sakit fisik, tekanan emosional, dan beban mental dari latihan yang intens, yang kadang membuatnya jauh dari keluarga dan teman. Seorang penari balet pun siap menahan rasa sakit demi mencapai keindahan dan kelenturan gerak. Seorang ibu dengan kasih menjalani berbagai kesulitan selama kehamilan dan menghadapi rasa sakit saat melahirkan demi menyambut kehidupan baru. Semua ini menunjukkan bahwa penderitaan bukan hanya soal rasa sakit, melainkan langkah pencapaian menuju makna. Mereka tidak menghindarinya melainkan tekun menjalaninya karena memahami peran dan tujuannya. Demikian pula murid Kristus, ada peran dan tujuan yang menjadi alasan kesetiaan dalam menjalani panggilan kemuridan yang selalui disertai penderitaan.
Dalam 2 Timotius 3:12 Paulus membukakan kepada Timotius yang sedang melayani jemaat Efesus, bahwa sebagai murid Kristus ia juga telah dan akan berbagian dalam penderitaan Kristus. Penderitaan itu menyatu dalam panggilan Timotius sehingga tidak dapat dihindari tetapi dihadapi. Timotius menghadapi diri yang masih muda dengan berbagai keterbatasan dan kelemahan tubuh yang belum sembuh, pelayanan yang sulit, serta musuh yang menyesatkan. Paulus mengajar Timotius akan panggilan penderitaan karena sangat mungkin ia sendiri telah menerima bagian itu sejak awal panggilannya bahkan semakin menghayati ketika menjalani peran dan tujuan kerasulannya. Paulus semakin menyatu dengan Kristus dalam karya-Nya yang telah menanggung penderitaan tertinggi demi keselamatan manusia. Ajaran dan panggilan Kristus bertentangan dengan nilai-nilai dunia bahkan juga melawan kuasa jahat yang menjadi musuh utama-Nya. Tidak heran jalan panggilan Paulus sarat dengan penolakan, pertentangan, hinaan, ketidakadilan, pengorbanan, dan bahkan penganiayaan dari pihak-pihak yang tidak memahami dan menentang misi Kristus. Tetapi Paulus dapat mengkategorikan semua penderitaan beratnya sebagai penderitaan ringan yang justru mengerjakan kemuliaan kekal yang jauh lebih besar daripada penderitaan itu sendiri (2 Kor. 4:17).
Sudut pandang yang tepat akan memengaruhi bagaimana seorang murid Kristus menjalani peran, tujuan, kehidupan iman dan panggilannya yang mengandung risiko penderitaan. Yesus tidak pernah menutupi hal ini sejak Ia memanggil murid-murid-Nya; Ia terus membukakan realitas tersebut meskipun mereka sering menyangkalinya. Di tengah orientasi kesuksesan pelayanan dan hidup mereka, Yesus tetap konsisten menyiapkan murid-murid-Nya untuk menghadapi tantangan, aniaya, dan penderitaan. Namun, Ia juga menjanjikan bahwa ada kemuliaan dan pengharapan akan kebangkitan kehidupan kekal sebagai puncak dari kemenangan pengabdian mereka. Penderitaan dalam iman bukanlah tanpa tujuan; melainkan bagian dari proses yang membawa mereka semakin serupa dengan-Nya baik dalam penderitaan dan kemuliaan-Nya. Dalam penderitaan mereka akan mengalami kuasa Allah, merasakan keindahan bergantung kepada Tuhan, menerima penyingkapan makna ilahi, pertumbuhan iman dalam ketundukan pada kedaulatan-Nya serta mengalami kemuliaan ketika menjadi kesaksian hidup penuh kemenangan.
Jalan Kristus itu menderita sekaligus mulia. Paradoks yang akan terus menyertai kita dan mungkin menimbulkan pertanyaan secara kognitif, pergolakan emosi, pengocohan mental, kebingungan spiritual, keraguan ataupun serangan godaan rohani. Tentu jalan salib ini tidak bisa kita jalani sendiri. Kita memerlukan kekuatan yang melampaui kekuatan diri yaitu dari Tuhan dan komunitas tubuh Kristus yang menyediakan segala hal yang kita perlukan. Bagian kita adalah menggenggam tangan untuk berpegang teguh dalam iman dan pengharapan, mengangkat tangan untuk mendapatkan pertolongan Tuhan setiap waktu, dan membuka tangan untuk menerima uluran kasih dari sesama murid lainnya. Allah bekerja dengan cara yang ajaib kepada mereka yang setia, tetapi Allah juga bekerja mengaruniakan seluruh kekayaan kemuliaan-Nya melalui tubuh-Nya di dunia. Yang lemah dikuatkan, yang terluka tersiram penghiburan sukacita, yang menyerah menjadi berserah, yang ingin berlari kemudian bisa kembali, yang ogah kembali menekuni, sehingga tidak ada yang merasa sendiri dan berhenti.
Penderitaan kita bukan akhir segalanya, tetapi sebuah misteri jalan penyatuan hidup bersama Kristus. Hanya jika kita memahami peran dan tujuan panggilan-Nya maka kita tidak menghindari penderitaan tetapi menekuninya. Mereka yang setia akan melihat dan mengalami Dia, dalam sukacita di dunia dan kemuliaan kekal pada akhirnya.(* Penulis Melayani Pelayanan Alumni di Perkantas Malang)