more"/> more">
Oleh Lita Magda Kristanti,S.P*)
“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu,” demikian kata Paulus kepada jemaat Tesalonika. Kalimat ini juga acapkali menjadi ayat favorit banyak orang Kristen. Sebuah nasihat untuk terus mengucap syukur dalam segala situasi dan kondisi. Mengucap syukur dalam situasi yang menyenangkan tentu akan mudah. Tetapi bagaimana kita dapat bersyukur di tengah situasi tidak menyenangkan, dukacita, atau saat keadaan di sekeliling terasa begitu tidak adil?
Hal ini juga dirasakan oleh nabi Habakuk. Nabi Habakuk mengalami krisis ekonomi, di mana tidak ada bahan makanan, mengalami aniaya, dan penderitaan. Tidak sampai disitu, saat ia bertanya kepada Tuhan mengapa kondisi seperti itu terjadi dalam hidupnya, Tuhan diam dan tak menjawab, seakan membiarkannya. Hal-hal tersebut dapat menjadi alasan Habakuk untuk sulit mengucap syukur. Kalau hal serupa terjadi pada kita, mungkinkah kita bisa mengucap syukur?
Di tengah situasi yang sulit, justru Habakuk menutup tulisannya dengan sebuah pernyataan iman: “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku”. Bagaimana mungkin Habakuk bisa mengatakan hal tersebut? Dia tetap bersukacita dan mengucap syukur kepada Allah dengan kondisi hidup yang buruk?
Pohon ara adalah pohon yang paling banyak bertumbuh di daerah Israel pada waktu itu. Pohon ini kemungkinan adalah sumber kehidupan bagi orang Israel. Pohon anggur melambangkan kemakmuran dan damai sejahtera. Pohon zaitun adalah pohon yang sangat disukai pada waktu itu. Ladang tempat menghasilkan bahan makanan, dan ternak pun adalah sumber kehidupan. Habakuk seolah-olah mengatakan, “Sekalipun hal yang paling sering ada dan disukai di dalam hidupku tidak ada lagi, aku akan tetap bersorak-sorak dan mengucap syukur kepada Allah.”
Habakuk menyadari bahwa sumber sukacitanya bukanlah kondisi di sekitarnya yang baik-baik saja. Keyakinan Habakuk timbul dari imannya yang hidup. Ia berkata, “(aku) beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” Habakuk menunjukkan bahwa dia tetap berpengharapan pada janji penyelamatan Allah. Allah adalah tempat keselamatannya. Allah yang akan menyelamatkan Habakuk. Karena itu, Habakuk meletakkan harapannya pada Allah.
Habakuk mengatakan bahwa kekuatannya adalah Allah sendiri. Dia tidak menaruh kekuatannya di dalam dirinya, pikirannya, maupun perasaannya. Allah adalah kekuatannya. Allah adalah alasan yang cukup bagi Habakuk untuk terus bersorak-sorai dan mengucap syukur, sekalipun dia hidup di dalam kondisi yang menyedihkan, mengecewakan, dan penuh kesusahan.
Situasi pelayanan kita di Perkantas saat ini mungkin bisa kita lihat sebagai situasi yang tidak menentu. Jika Nabi Habakuk hidup di masa sekarang dan melayani bersaka kita, ia mungkin akan menulis: “Meskipun tahun ini masih belum ada pertumbuhan dan perubahan, dan semuanya terasa begitu berat, sulit untuk menjangkau siswa dan mahasiswa, juga membina alumni, tidak tau bagaimana harus mendampingi persekutuan sekolah dan kampus, sulit menggerakkan siswa-mahasiswa dan bahkan alumni untuk menjadi pengurus, target PI dan KTB belum tercapai, namun aku akan bersukacita di dalam Tuhan. Aku akan bersukacita di dalam Tuhan Juruselamatku.”
Apapun kondisi hidup kita, kita bisa memilih tetap bersukacita dan mengucap syukur, karena sukacita dan syukur kita di dalam Tuhan adalah sukacita yang tidak bergantung pada keadaan. Sukacita dan kekuatan kita adalah di dalam Allah.( Penulis melayani pelayanan Mahasiswa di Perkantas Malang)