more"/> more">
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun jalanan kota dipenuhi gemerlap lampu Natal. Namun bagi Maria, gemerlap itu terasa jauh, seolah-olah ia sedang menyaksikan kegembiraan dari balik jendela yang berkabut. Tahun ini penuh dengan kisah pahit dan kesedihan, setidaknya bagi Maria—neneknya meninggal, toko kuenya bangkrut, dan pekerjaan barunya sekarang begitu menguras tenaga dan emosi. Natal, dengan lagu-lagu Natal dan keceriaannya, terasa hampa.
Nenek Maria, orang yang merawatnya sejak kecil, selalu menjadi orang yang membuat Natal bermakna. "Ingat, Maria," kata nenek, "Natal tidak berbicara tentang pesta dan liburan; tetapi tentang kasih Allah." Namun, kasih Allah adalah hal terakhir yang bisa Maria rasakan saat ia menapaki jalan beraspal malam itu, malam yang dingin di bulan Desember. Ia berhenti di depan gereja tua tempat neneknya dulu menjadi aktivis, pintunya terbuka lebar dan cahaya hangat terpancar dari dalam.
Penasaran, Maria melangkah masuk. Ia dapat melihat sekelompok orang sedang mendekorasi mimbar dan kursi-kursi gereja. Lagu-lagu rohani bertema Natal yang diputar saat itu membangkitkan kenangan tentang neneknya yang menyenandungkan lagu-lagu Natal sambil memasak. Seorang wanita di dekat altar melambaikan tangan kepada Maria dan berjalan mendekatinya sambil tersenyum. Maria mengenali wanita itu, Nyonya Lily. Beberapa bulan yang lalu mereka bertemu di kebaktian pemakaman nenek Maria.
“Silakan bergabung dengan kami,” katanya sambil tersenyum ramah. “Kami sedang mempersiapkan kebaktian Malam Natal.”
Maria ragu-ragu. Ia tidak yakin apakah ia punya energi untuk merayakan Natal, apalagi membantu persiapannya. Namun, ada sesuatu dalam suara Nyonya Lily—atau mungkin kehangatan gereja—yang mendorongnya maju. “Apa yang bisa saya bantu?” tanya Maria. Nyonya Lily memberinya sekotak hiasan. “Mulailah dengan ini.”
Saat Maria menggantung hiasan di bingkai jendela, ia melihat tulisan yang tercetak di sana. Salah satunya berbunyi, “Allah tidak lalai menepati janji-Nya.” Di hiasan yang lain tertulis, “Orang yang berada dalam kegelapan sudah melihat Terang yang besar.” Penasaran, ia bertanya kepada Nyonya Lily tentang hiasan itu.
“Kata-kata itu diambil dari nubuat nabi Yesaya, sebuah pengingat akan kisah Natal,” Nyonya Lily menjelaskan. “Tentang bagaimana Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan Juruselamat, bukan di istana, tetapi di palungan. Sebuah bukti yang menunjukkan bahwa Ia bersedia menemui manusia di tempat yang kotor dan kacau, untuk membuat hidup manusia kembali utuh dan bersih.”
Kata-kata itu memantik sesuatu di pikiran Maria. Ia memikirkan kekacauannya sendiri—kesedihan, ketidakpastian, perasaan tersesat. Bisakah kasih karunia Allah benar-benar menemuinya di sana?
Malam itu, saat berjalan pulang dari gereja, Maria mendapati dirinya berhenti sejenak di bawah lampu jalan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia membisikkan doa, mentah-mentah dan tanpa disaring. “Tuhan, aku tidak mengerti segalanya. Namun, jika Engkau di sini, jika Engkau masih bersamaku, tunjukkanlah kepadaku. Aku membutuhkan-Mu.”
Esok paginya, Maria terbangun dengan perasaan tenang yang tidak dapat ia jelaskan. Maria memutuskan untuk mengunjungi kamar loteng tempat ia menyimpan barang-barang peninggalan neneknya serta kotak-kotak berisi hiasan Natal. Di antara hiasan Natal dan kotak-kotak berdebu, Maria menemukan jurnal neneknya. Saat membalik-balik halaman jurnal itu, ia melihat tulisan-tulisan tentang iman, pengharapan, dan kasih neneknya kepada Allah—bahkan di masa-masa tersulit, yaitu ketika neneknya mulai jatuh sakit. Satu kalimat yang menarik perhatian Maria adalah: “Bahkan ketika hidup terasa seperti sebuah perjalanan melewati lembah yang gelap, Tuhan adalah terangku.”
Kalimat itu mengingatkan Maria pada “lembah gelap” miliknya sendiri selama pandemi, ketika ia berjuang untuk menyelesaikan tesisnya sambil merawat neneknya. Ia merasa kewalahan dan sendirian, tetapi entah bagaimana ia berhasil melewatinya. Sekarang, saat ia merenung, Maria dapat melihat kehadiran serta terang Tuhan dalam diri orang-orang yang telah mendukungnya dan kekuatan yang ia temukan untuk terus maju.
Malam itu, Maria kembali ke gereja untuk mengikuti kebaktian Malam Natal. Tempat itu terang benderang dengan cahaya lilin, dan udara dipenuhi dengan alunan lembut "Malam Kudus". Saat jemaat bernyanyi, Maria merasakan sukacita yang mendalam dan ucapan syukur muncul dalam dirinya. Sukacita dan rasa syukur itu bukan datang dari musik atau hari libur—melainkan kesadaran bahwa Allah yang telah menggenapi janji-Nya untuk mengutus Juruselamat, adalah Allah yang sama yang berjalan bersama Maria melalui lembah-lembahnya.
Setelah kebaktian, Nyonya Lily menemukan Maria berdiri di dekat dekorasi kandang Natal. "Kau tampak lebih ringan," kata Nyonya Lily.
Maria mengangguk. "Aku telah mengingat janji-janji itu. Tuhan telah menggenapi begitu banyak janji. Dan jika di masa lalu Dia menepati semua janji-Nya, maka aku dapat percaya bahwa Dia juga akan menepati janji-Nya di masa yang akan datang."
Nyonya Lily tersenyum. "Itulah keajaiban Natal. Natal bukan hanya tentang apa yang terjadi di Betlehem; melainkan tentang apa yang terus terjadi di hati kita.”
Saat Maria berjalan pulang di bawah langit yang bertabur bintang, ia merasakan sesuatu yang sudah lama tidak dirasakannya—harapan. Gemerlap lampu-lampu Natal di jalanan kota tidak lagi terasa jauh. Lampu-lampu itu adalah pantulan cahaya yang kini ia rasakan di dalam dirinya, cahaya yang tidak dapat dipadamkan oleh kegelapan apa pun.
(Karya ini ditulis oleh Maria Rebecca S. Penulis adalah pengikut Instagram komunitas literasi Rima Rilis. Tulisan ini merupakan satu dari tiga tulisan terbaik dari Tantangan Menulis Natal 2024 bersama Pena Murid)