more"/> more">
Yusuf Deswanto, M.Div
Yesaya 55:6-9
Harian Kompas, Selasa, 31 Desember 2024, mengangkat hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas awal Desember tahun lalu yang memotret sikap paradoks masyarakat menyongsong pergantian tahun: antara optimis dan khawatir. 65% lebih publik optimis akan perekonomian yang lebih baik di tahun 2025. Namun di saat yang sama, publik juga khawatir akan rencana kenaikan pajak (PPN 12%), pendapatan stagnan/menurun, turunnya daya beli masyarakat, dan kenaikan harga bahan pokok. Potret optimisme sekaligus kekhawatiran publik di pergantian tahun ini menggambarkan apa yang dikatakan penulis AS, Michelle Hodkin, “Memikirkan sesuatu tidak membuatnya menjadi kenyataan. Menginginkan sesuatu tidak membuatnya menjadi nyata.” Seringkali publik sulit memilah antara optimisme dengan harapan diri.
Semua orang layak optimis mengawali tahun yang baru. Namun realita hidup tak memupus kekhawatiran kita memasuki tahun 2025, dengan bayang-bayang suram kondisi perekonomian dunia yang mempengaruhi ekonomi Indonesia. Kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah baru yang cenderung ingin menggenjot penghasilan dari sektor pajak, tak urung cukup menggelisahkan mayoritas masyarakat menengah ke bawah. Para pengamat ekonomi memprediksi laju pertumbuhan ekonomi yang banyak digerakkan kelompok ekonomi menengah akan melambat. Maka pertanyaannya bagi kita sebagai orang yang berpengharapan kepada Kristus, apakah kita layak optimis ataukah khawatir menatap tahun 2025 ini?
Iman berbeda dengan sikap optimis. Iman mampu memompa sikap optimis, namun iman bukanlah sikap optimis. Sikap optimis berakar pada situasi dan kondisi yang mengelilingi hidup manusia. Kemampuan manusia dalam menafsirkan situasi dan kondisi yang terjadi, untuk kemudian memprediksi situasi dan kondisi yang akan berlangsung di masa depan, akan menentukan sikap optimis seseorang. Sikap optimis secara tidak langsung dipengaruhi persepsi manusia terhadap situasi yang ada. Namun iman justru bertumbuh dalam diri orang percaya melampaui situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Iman lebih didasarkan pada kesadaran akan keberadaan Pribadi yang aktif memegang kendali situasi dan kondisi yang terjadi. Iman Kristen berakar pada pengenalan umat percaya kepada Allah yang sedang dan akan terus mengendalikan sejarah.
Situasi dan kondisi yang terjadi di tengah bangsa Yehuda pada masa nabi Yesaya jauh lebih suram dibandingkan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Bayang-bayang keruntuhan Yerusalem di tangan Babel sudah sedemikian nyata. Bukan sekadar krisis, bangsa Yehuda sedang berada di bibir jurang kemiskinan, karena murka Allah yang mengizinkan kedigdayaan pasukan Nebukadnezar meluluhlantakkan Yerusalem. Generasi muda yang menjadi tulang punggung masa depan Yehuda pun akhirnya diangkut menjadi tawanan ke Babel. Bangsa kesayangan Allah akhirnya menjadi bangsa buangan di Babel. Kita yang hidup di zaman sekarang mungkin akan sulit membayangkan betapa kelamnya situasi dan kondisi yang menyelimuti bangsa Yehuda di masa itu.
Dalam kondisi terpuruk nyaris tanpa harapan, nabi Yesaya tetap mendeklarasikan nubuat penuh pengharapan bagi Yehuda. Dengan penuh keyakinan Yesaya mengumandangkan keyakinan bahwa Allah Israel tidak pernah kehilangan kendali-Nya: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yes. 55:8-9). Dalam situasi yang paling sulit dan kelam, Allah Israel yang tak terpahami itu tetap mengendalikan rancangan agung-Nya.
Yesaya 55 adalah bagian dari nyanyian pengharapan akan hadirnya Hamba Allah, yaitu Tunas Isai (Yes. 11:1; 53:2), dimulai dari Yesaya 50-53. Yesaya 54-55 merupakan nyanyian respons yang dituntut Yesaya untuk dinyatakan oleh umat Yehuda, untuk menyatakan pengharapan akan datangnya Hamba TUHAN yang akan membebaskan Yehuda. Mari kita membayangkan, di situasi dimana bangsa Yehuda menjadi tawanan dan buangan di Babel, Yesaya malah mengajak orang Yehuda tetap percaya, bahwa rancangan Allah Israel adalah rancangan yang terbaik bagi mereka. Di tengah puing-puing keruntuhan Yerusalem, generasi Yehuda pada masa itu dituntut untuk tetap beriman bahwa TUHAN Allah akan menyelamatkan mereka. Inilah sebuah seni beriman kepada Allah Perjanjian itu: mempercayai Dia penuh, meski situasi dan kondisi tidak secuilpun membangkitkan rasa optimistik. It is the faith beyond optimistic attitude. Iman selalu melampaui sikap optimis.
Melalui pembacaan Yesaya 55:6-9, kita di masa kini juga diajak untuk mengarahkan hati dan pikiran kita bukan pada situasi dan kondisi bangsa yang sebenarnya sama sekali tidak menjanjikan. Tahun baru mungkin saja tidak serta merta memunculkan sikap optimis yang baru. Pemerintahan yang baru mungkin justru tidak memunculkan harapan yang baru. Namun Allah yang sama dengan Allah Yehuda tetap memegang kendali sejarah hidup kita. Hamba Allah, Tunas Isai itu, tetap berkuasa menerbitkan fajar pengharapan dan keselamatan bagi bangsa-bangsa. Tuntutan nabi Yesaya bagi kita di masa kini tetap sama: “Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat.” Cara paling tepat untuk mengejawantahkan iman dalam mengawali tahun 2025 ini adalah mencari TUHAN, karena Ia memang berkenan untuk ditemui. Terus berseru dan bersandar kepada Dia, karena Dia tak pernah kehilangan kendali atas hidup kita dan bahkan atas seluruh negeri ini.
(Penulis merupakan Staf Perkantas Jember dan pembina komunitas Pena Murid Perkantas Jawa Timur)