more"/> more">
Oleh: Noni Elina Kristiani
Sebagai manusia kita pasti pernah mengalami pasang surut kehidupan. Ada saat di mana kita berada dalam puncak kejayaan, namun ada saatnya juga persoalan hidup membawa kita dalam lembah kekelaman. Bagaimana peran iman bagi kita? Mungkin lebih mudah memiliki iman ketika segala sesuatunya berjalan baik-baik saja. Namun bagaimana ketika kita mengalami persoalan dan kegagalan? Apakah iman masih mudah kita dengungkan? Orang-orang terdekat yang meninggalkan kita, rencana bisnis yang gagal, kesulitan menyelesaikan tugas akhir, dan banyak persoalan lainnya. Masihkah kita bisa mempercayai Allah ketika semuanya itu terjadi?
Bicara tentang iman, tentu kita tidak asing dengan kisah Abraham di Alkitab. Ada hal menarik yang saya baca di Kejadian 15:2-3 ketika Tuhan memberikan janji keturunan kepada Abraham:
Kemudian datanglah firman TUHAN kepada Abram dalam suatu penglihatan: “Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar.” Abram menjawab: “Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik
Melalui perkataan Abraham di atas, dapat terlihat bahwa dia menganggap Tuhanlah yang tidak memberikan dia anak. Dengan kata lain, Tuhanlah penyebab dia tidak memiliki anak. Apa gunanya Tuhan memberi upah kepada saya? Sangat terlihat jelas betapa Abraham sangat merindukan kehadiran seorang anak, sehingga tidak ada gunanya Tuhan mau memberikan hal lainnya. Kita dapat belajar melalui respons Abraham ini bahwa menjadi apa adanya di hadapan Allah merupakan suatu awal perjalanan iman. Abraham tidak menutupi sisi kemanusiaannya, bagaimana dia ragu karena sudah begitu tua dan rasanya mustahil untuk memiliki anak.
Pernahkah kita, seperti Abraham, mencoba menjadi apa adanya dihadapan Allah, bahkan ketika kita sedang ragu kepada-Nya? Meskipun sebenarnya Tuhan sudah tahu apa yang ada di dalam hati kita sebelum kita mengatakannya, Tuhan tetap ingin mendengar itu keluar dari bibir kita seperti baru pertama kali diucapkan. Perhatikan bagaimana Tuhan merespons Abraham:
Tetapi datanglah firman TUHAN kepadanya, demikian: Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu Lalu TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya." Maka firman-Nya kepadanya: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran. (Kejadian 15:4-6)
Allah membawa Abraham keluar untuk menyentuh perasaan hatinya terhadap janji ini. Di ayat 6 Abraham kemudian percaya dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran. Mungkin Tuhan sedang membawa kita ‘keluar’ saat ini, melihat jauh melampaui segala persoalan hidup yang ada dan mengalihkan pandangan kita kepada apa yang hendak Allah tunjukkan. Hal ini memang membutuhkan kepekaan namun dapat menolong kita untuk menjadi percaya.
Tidak berhenti disitu saja, iman perlu mewujud-nyata melalui perbuatan. Pada Kejadian 22:1-19 ketika iman Abraham diuji untuk mempersembahkan anaknya satu-satunya, Abraham langsung berangkat pada keesokan harinya untuk melakukan apa yang Tuhan katakan itu. Dapatkah kita membayangkan, bagaimana perasaan Abraham saat itu? Dia adalah seorang Ayah yang sangat mengasihi anak tunggal yang dia inginkan sejak lama. Kehancuran hatinya nyata disetiap langkah ketaatannya menuju tanah Moria. Oleh karena ketaatan iman kita menjadi hidup. Iman bukanlah ketiadaan rasa takut, tapi tekad memilih untuk taat meski dirundung oleh ketakutan itu.
Menjalani kehidupan sebagai staf Perkantas selama 2 tahun merupakan perjalanan bersama Tuhan yang memupuk iman saya. Adaptasi dengan lingkungan yang baru, mengambil keputusan-keputusan sebagai seorang pemimpin, merupakan petualangan yang menuntut keberanian. Tidak menampik bahwa ada saat di mana saya mempertanyakan keberadaan Tuhan dalam hidup saya. Sama seperti Abraham, saya berusaha untuk menjadi apa adanya dihadapan Allah dan menatap ‘keluar’ untuk melihat betapa kesusahan hari ini dapat membentuk karakter saya menjadi semakin serupa dengan-Nya. Saya belajar bahwa kasih Allah tetap setia, meski terkadang saya tidak bisa merasakan kehadiran-Nya. Ketika saya sulit mempercayai diri sendiri dan juga Allah, saat itulah saya belajar untuk memiliki iman bahwa Tuhan tahu apa yang sedang Dia lakukan. Rencananya akan tetap terlaksana, bagian kita hanyalah taat.
Semoga dalam setiap persoalan hidup yang ada, kita tetap mau tenang dengan mengakui segala ketakutan dan keraguan kita, kemudian tetap mempercayai Allah. Tetap melangkah di dalam iman melalui ketaatan. Memang tidak mudah, namun pernyertaan Tuhan akan selalu ada bagi kita. Soli Deo Gloria!(*Penulis melayani Pelayanan Siswa di Banyuwangi)