more"/> more">
Oleh Calvin Nathan Wijaya
Adalah Marta dan Maria, dua kakak beradik yang ditinggalkan oleh saudara laki-lakinya, Lazarus (Yoh. 11:1-44). Ketiga orang ini adalah orang yang sangat dikasihi oleh Yesus, dan ketika Yesus melihat Maria menangis, Ia pun turut menangis (ayat 33). Yohanes mencatat bahwa hati Yesus masygul, dan hanya dalam peristiwa kematian Lazarus saja tercatat bahwa hati Yesus masygul. Garber dalam buku ‘Panggilan untuk Mengenal dan Mengasihi Dunia’ mencatat bahwa kata masygul merupakan kata yang sama yang digunakan oleh penyair Yunani untuk menggambarkan kuda perang yang siap memasuki medan perang, lubang hidungnya mengembang, marah akan apa yang dilihatnya dan siap memasuki konflik sebagai seorang pahlawan perang. Kesedihan bercampur amarah yang tak terucapkan karena suatu hal yang memilukan terjadi, itulah masygul. Yesus mengalami hal yang serupa. Pertanyaannya, mengapa Ia masygul?
Marta, Maria, dan Lazarus tinggal di Betania, dekat Yerusalem. Saat mendengar kabar sakit yang diderita Lazarus, Yesus dan murid-murid-Nya sedang berada di seberang sungai Yordan. Ia tinggal dua hari di sana, dan kemudian Ia berkata: “Mari kita kembali lagi ke Yudea [merujuk kepada Yerusalem, Betania, dan sekitarnya]” (ayat 7). Murid-murid langsung mempertanyakan rencana Yesus. Pasalnya, para Rabi berkumpul di sana dan Yesus sempat ingin dibunuh oleh mereka (ayat 8). Namun, Yesus bersikeras untuk kembali ke Yudea untuk “membangunkan Lazarus dari tidurnya” (ayat 11). Murid-murid pasrah, hingga Tomas berkata, “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia” (ayat 16). Apakah Anda memahami apa yang Yesus sedang lakukan dalam adegan ini? Ia sedang berjalan seperti kuda perang yang siap memasuki medan perang, bertemu kembali dengan musuh-musuh-Nya untuk membangkitkan saudara yang dikasihi-Nya. Kemasygulan hatinya membawa Ia semakin dekat kepada tempat dimana Ia akan dibantai, yaitu Yerusalem (dekat Betania, provinsi Yudea).
Kembali ke pertanyaan awal: mengapa Yesus masygul? Apakah karena orang yang dikasihi-Nya meninggal dunia? Lebih daripada itu! Ia masygul karena manusia harus mati akibat dosa. Allah telah berfirman demikian, “[E]ngkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kej. 3:19). Manusia seharusnya tidak perlu menanggung kematian, namun dosa membuatnya harus mati. Yesus masygul karena dosa yang mematikan itu. Inilah yang dilakukannya: alih-alih lari dari pertempuran yang berisiko, Yesus justru masuk dalam pertempuran itu. Pertama-tama, Ia membangunkan Lazarus dari tidurnya. Kemudian, Ia menidurkan diri-Nya di atas salib untuk membangunkan seluruh umat manusia. Yesus rela merisikokan diri-Nya untuk membangkitkan Lazarus, orang yang dikasihi-Nya (bdk. Yoh. 15:13). Demikian pula, Yesus merisikokan diri-Nya, bahkan hingga mati di atas kayu salib (setelah itu bangkit pada hari yang ketiga), untuk membangkitkan kita semua.
Inilah pesan bagi kita semua: kemasygulan hati Yesus akan dosa telah membawa kebangunan, kebangkitan, dan pengharapan bagi kita yang percaya. Pertanyaannya: Masygulkah engkau ketika melihat satu per satu jiwa mati tanpa mengenal Sang Kebangkitan? Masygulkah engkau ketika melihat dunia berjalan seperti yang tidak seharusnya? Masygulkah engkau sama seperti hati Yesus yang masygul ketika melihat dosa masih beroperasi dalam dunia? Maukah engkau mengizinkan dirimu berderai air mata dalam amarah untuk mengabarkan pengharapan kepada mereka yang terluka dan tertindas?
*) Calvin, mahasiswa tingkat akhir FISIP Universitas Airlangga, doakan saat ini tengah berjuang menyelesaikan tugas akhirnya. Ia memiliki motto hidup Only one life, so soon it will pass. Only what&'39;s done for Christ will last.
Kesan Calvin mengikuti Komunitas Pena murid selama 10 bulan ini : yang pasti sangat senang bisa dapat komunitas menulis bersama yang bisa memacu saya untuk tetap dan terus menulis.