more"/> more">
Masih dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, Sketsa kali ini akan berkenalan dan menikmati pengalaman seorang tenaga pendidik yang terus berjuang dan melayani pendidikan bagi anak-anak di Papua. Nama lengkapnya Nia Megawita, lahir di Malang pada 22 Maret 1985. Alumni Universitas Negeri Malang pernah aktif melayani sebagai Tim Pembimbing Siswa di Perkantas Malang. Berangkat ke Papua untuk melayani sebagai tenaga pendidik, Nia bertemu dengan cinta sejatinya Kak Welly R. Goha dan saat ini telah memiliki dua orang putra. Melalui wawancara tertulis Nia membagikan bagaimana visi, misi dan perjuangannya melayani di ujung timur Indonesia.
Apa yang membuat Nia memutuskan untuk menjadi pendidik di Papua ?
Visi mengajar di Papua mulai muncul di masa akhir kuliah, sekitar tahun 2008. Visi untuk mengajar ini muncul karena sering mendengar sharing pelayanan Kak Harry Limanto yang saat itu sedang merintis pelayanan di Jayapura. Selepas bergumul dalam doa dan saat teduh (PA Gideon), akhirnya saya berani mengambil keputusan untuk bergabung dengan satu lembaga misi untuk mengajar di Papua.
Satu hal yang saya kenang adalah sebelum berangkat ke Papua, diundang untuk didoakan dalam ibadah pengutusan dan HUT Perkantas Surabaya tahun 2008, bersama Sdri Lili (alumni Perkantas Surabaya) oleh Kak Harry Limanto. Sungguh ini meneguhkan saya.
Apa persiapan yang Nia lakukan untuk memperlengkapi diri dalam mengajar di Papua?
Sebelum berangkat ke Papua (2008) saya mempersiapkan diri dengan training-training yang menurut pemikiran saya dibutuhkan di Papua, misalnya Training Guru di Charis National School ( selama 6 bulan), belajar mengenai okultisme bersama kak Timotius (Malang Youth Center), bergabung dengan Shelter HIV/AIDS milik PILKESGA GKJW MALANG, belajar tentang konseling Bersama Kak Shelfie Tjong (SAAT), bergabung dengan Pancaran Anugerah (Living Waters International Conference, Denpasar 2008) terakhir mengirim Curriculum Vitae ke Lembaga Misi . Sungguh merupakan anugerah Tuhan menurut saya bisa belajar di berbagai tempat sebelum menemukan lembaga pengutus.
Apa tantangan terberat yang Nia hadapi ketika menjadi guru di Papua?
Menurut saya tantangan terbesar adalah diri saya sendiri. Tahun pertama di lembaga misi (2009), saya bergumul dengan ketakutan saya untuk menghadapi konflik dan kesulitan saya untuk berbicara di depan umum (saya orang Jawa yang sejak kecil tidak terlatih untuk menyatakan pendapat kepada orang yang lebih tua, sementara rekan-rekan berasal dari suku lain berbicara secara langsung dan to the point disertai dengan nada tinggi). Saya merasa energi yang dibutuhkan untuk berjuang mengasihi dan memahami rekan-rekan lebih besar daripada energi yang dibutuhkan untuk mengasihi dan memahami anak-anak yang saya layani. Melihat kapasitas saya yang terbatas tersebut, saya akhirnya memutuskan untuk mengakhiri komitmen di Lembaga Misi tetapi tetap melayani di Yahukimo, Papua secara pribadi tanpa ada dukungan lembaga.
Setelah berkomitmen melayani secara mandiri, saya dan seorang rekan, namanya Kak Endah (alumni Perkantas Jakarta) tinggal di Barak Koramil bersama 2 anak papua suku Kimyal yang kami adopsi (Komana Maling dan Dina Maling). Di Koramil, kami mengajar anak-anak suku asli yang tinggal di sekitarnya sambil terus mengerjakan pelayanan yang kami sudah kerjakan sebelumnya. Saat masih mengajar di lembaga Misi, kami berdua rutin melakukan pelayanan pribadi. Kami pergi ke pemukiman suku Bugis di pasar dekat penginapan misi dan suku asli Momuna yang jaraknya sekitar 1 jam jalan kaki dari penginapan misi. Kami mengajak anak-anak bernyanyi dan mendengar firman sebelum mengajar baca tulis.
Karena kami tidak punya lembaga yang menaungi, kami mulai menjual kue dan kerupuk untuk biaya makan kami sehari-hari. Bersyukur siswa yang kami ajar sering membawakan sayuran sebagai ucapan terimakasih karena sudah diajar membaca. Untuk makan, kami membeli beras bulog yang paling murah, sebenarnya mungkin tidak layak untuk dikonsumsi. Bersyukur ada orang-orang yang Tuhan gerakkan secara rutin mengirimkan dukungan dana misi guru setiap bulannya dan juga mengirimkan alat-alat tulis untuk mendukung pelayanan kami.
Bila mengingat masa-masa itu, hanya anugerah Tuhan yang membuat bertahan untuk tetap mengerjakan pelayanan di tengah keterbatasan dan ketidaksempurnaan saya. Saat ini, saya sudah tidak lagi mengajar di Yahukimo, sejak tahun 2012 saya mengajar di Timika di sebuah sekolah swasta. Setelah saya mendapatkan gaji, bantuan misi guru yang saya terima secara rutin saya alihkan kepada teman pendidik lain yang membutuhkan.
Apa sukacita Nia sebagai Guru? Bisakah membagikan juga pengalaman yang paling berkesan?
Sukacita terbesar ketika melihat anak-anak didik bertumbuh tidak hanya dalam pengetahuan, tetapi juga karakter. Pengalaman yang paling berkesan saat mengajar di Yahukimo: Doroana ( anak suku asli Papua) pada awal masuk Taman Kanak-kanak A, membutuhkan banyak penyesuaian, perlu kesabaran ekstra mengajarnya. Dia tidak mengerti bahasa Indonesia, berbaring di atas meja saat belajar yang membuat kami, para guru harus sering mengawasinya, beberapa kali menghilang dari kelas dan ditemukan tiduran di lantai toilet karena baginya ruangan tersebut dingin dan nyaman sementara ruangan lain lantainya dari kayu, dia juga berenang di bak air mandi para guru, yang membuat kami tidak bisa mandi beberapa hari sebab tampungan air hanya mengandalkan air hujan. Walaupun perilakunya demikian, ada satu momen yang membuat saya sangat bersukacita yaitu ketika suatu siang Doroana dan Ina Keike (TK B), mendatangi saya dan mengabarkan bahwa dia sudah bisa mengingat huruf A. Saat makan siang, Ina Keike berbagi bekal yang dia bawa dari rumah yaitu seekor kodok dan semacam kadal yang dibakar utuh. Rasanya geli dan aneh tapi saya sangat terharu. Ada banyak pengalaman-pengalaman yang berkesan lainnya, tidak cukup rasanya saya tuliskan.
Apa harapan Nia secara pribadi terhadap pendidikan di Papua saat ini, atau adakah mimpi Nia kedepan yang Nia mau kerjakan dalam memajukan pendidikan di Papua?
Harapan saya semoga makin banyak sekolah-sekolah Kristen yang mengerjakan pendidikan berkarakter Kristiani, pembelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai Kristiani. Ada banyak anak-anak Papua yang membutuhkan kasih dan uluran tangan kita. Mari bawa di dalam doa syafaat kita, agar banyak tenaga pendidik yang cinta Tuhan dan mau memberi diri melayani di Tanah Papua. Tuhan Memberkati.