more"/> more">
“Many plans are in a man’s mind, But it is the Lord’s purpose for him that will stand
(be carried out).”
Proverbs 19:21-AMP
Yemima Galih Pradipta*)
Salah satu hal yang paling sulit untuk manusia lakukan adalah menunggu. Menunggu sampai lampu merah berubah menjadi lampu hijau. Menunggu antrian makanan atau antrian di bank. Menunggu hujan reda agar kita bisa melanjutkan perjalanan. Menunggu sampai episode terbaru dari drama kesukaan kita tayang.
Sesungguhnya apa yang membuat orang percaya begitu sulit dan kesal kalau harus menunggu? Mungkin salah satu alasannya adalah, karena kita tidak memiliki kendali apapun soal masa depan. Alasan lainnya, karena kita memiliki harapan bisa jadi hanya memuaskan keinginan kita, sehingga ketika gagal, kita merasa frustrasi dan marah.
Alkitab menuliskan banyak kisah di mana Allah “dengan sengaja” menginterupsi rencana manusia. Satu yang sangat terkenal adalah kisah Yusuf. Kadang-kadang saya mencoba membayangkan bagaimana rasanya menjadi Yusuf. “Mima, kamu akan menjadi presiden Indonesia!” Tentu saya akan sangat senang, tetapi yang terjadi di depan saya justru berbeda sama sekali. Yusuf justru harus mengalami penderitaan dan ujian sedemikian rupa. Tapi apakah tujuan Allah gagal? Kita bisa lihat bagaimana kelanjutan kisahnya.
Sen Sendjaya menulis dalam bukunya Menghidupi Injil dan Menginjili Hidup demikian: “Ada tiga kebodohan umum dalam berencana. Pertama, tidak membuat rencana itu bodoh. Kedua, membuat rencana tanpa melibatkan Allah juga bodoh. Ketiga, membuat rencana dengan berusaha mati-matian terlebih dahulu untuk menemukan rencana Allah yang spesifik bagi Anda, itu juga sama bodohnya”
Jangan sampai kita jatuh di kedua ekstrem tersebut. Ketika berpikir kita sudah membuat rencana yang baik, detil dan produktif; namun ketika Allah menginterupsi rencana tersebut, kita menjadi marah. Atau dengan berpikir, “Ah kalau begitu, aku akan berdoa terus sampai rencana Allah yang detail dan spesifik dinyatakan kepadaku, jadi aku tidak perlu membuat rencana dulu, takut gagal dan nanti jadi berdosa,” padahal kemanapun dan apapun yang kita lakukan, kita pasti akan berdosa juga.
Kita semua tahu, pandemi Covid-19 menjadi bukti nyata dan paling mudah untuk kita memahami bahwa kita sama sekali tidak bisa mengendalikan masa depan. Alih-alih bertanya tentang alasan mengapa semua ini terjadi, mari bertanya apa yang menjadi tujuan Allah atas diizinkannya hal itu terjadi. Kemudian kita belajar bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita (Rom. 8:28).
Jadi, mari melihat kesempatan menunggu itu dengan iman yang benar. Mungkin kita memang diminta untuk “melambat”, karena Allah sendiri tidak pernah tergesa-gesa. Mungkin Ia sedang “memangkas” kita dan kita diminta untuk me-reset tujuan dan rencana kita agar seturut kehendakNya. Mungkin Ia ingin kita memperhatikan apa yang luput kita perhatikan. Bisa jadi, seperti Yusuf, itu bukan salah kita, tetapi memang diizinkan terjadi agar kita bertumbuh semakin serupa Kristus dan kemudian berbuah manis.
Atau mungkin agar kita siap. Satu yang terus menguatkan saya dalam menanti: Hal itu tidak akan diberikan Tuhan kepadaku, bila aku tidak siap menerimanya. Lalu bilamana kita tahu kalau kita siap? Well... kita tidak akan tahu, hanya Bapa yang tahu. Jadi mari berserah pada-Nya. Mari menunggu dengan setia dan beriman pada-Nya yang tidak mengingkari janji-Nya! (Penulis adalah Penggerak Pena Murid dan akan melayani penuh waktu di Literatur Perkantas Jatim)