more"/> more">
Calvin Nathan Wijaya
Saat berkunjung ke Galeria Sophilia Jakarta bulan lalu, perhatian saya tertuju pada satu lukisan yang menceritakan peristiwa penyaliban Yesus. Dalam pandangan saya, lukisan tersebut merupakan gambaran yang paling mengerikan yang pernah saya lihat mengenai penderitaan Kristus di atas kayu salib. Wajah Yesus terlihat sangat payah. Tangan-Nya terkulai dan kaki-Nya hancur akibat paku besar yang mencancap. Singkatnya, keseluruhan tubuh Kristus digambarkan dengan kerapuhan dan ketidakberdayaan. Belakangan, saya baru mengetahui bahwa lukisan tersebut merupakan salah satu bagian dari rangkaian mahakarya Matthias Grünewald (1480–1528), yaitu Isenheim Altarpiece. Tentu, ada banyak aspek yang dapat digali dari lukisan ini. Namun, terdapat satu hal menarik dari yang ingin saya ceritakan lebih jauh, yaitu bercak-bercak merah yang melumuri seluruh tubuh Yesus.
Untuk mengetahui mengapa terdapat bercak-bercak merah tersebut, perlu untuk memahami konteks pembuatan karya ini. Lukisan ini dipersembahkan bagi kapel rumah sakit di sebuah biara di Isenheim yang secara khusus melayani penderita St. Anthony Fire (SAF) atau ergotism. SAF merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh konsumsi biji-bijian gandum hitam yang telah terkontaminasi oleh jamur. Penyakit kulit ini sungguh menyakitkan sebab memunculkan sensasi terbakar yang ekstrem yang dirasakan oleh penderitanya. Meski tidak separah wabah Black Death, SAF telah menyebabkan kematian sebesar 20.000–40.000 jiwa di Perancis pada tahun 994 hanya dalam satu insiden saja. Sehingga, dapat dikatakan bahwa penyakit SAF telah menjadi epidemi saat itu. Dalam konteks tersebut, lukisan ini dibuat untuk memberi penghiburan kepada mereka bahwa Kristus turut berpartisipasi dalam penderitaan yang dialami oleh penderita SAF.
Dengan melihat satu aspek dalam lukisan ini saja telah membuat saya semakin mengagumi pribadi Kristus. Ia adalah pribadi yang solider. Ia dapat dengan bebas mengatakan, “Aku mengerti kepayahanmu,” sebab Ia benar-benar telah mengalami masa kepayahan itu dan bukan hanya sekadar basa-basi. Ia mengerti manusia dari perspektif orang pertama dengan menjadi manusia itu sendiri. Ia turut merasakan kesedihan. Ia turut merasakan pengkhianatan. Ia turut merasakan keterpisahan. Ia turut merasakan penderitaan, dan dalam konteks lukisan ini, Yesus turut merasakan kesakitan. Ya, Yesus rapuh, dan dalam kerapuhan-Nya Ia sedang mengidentifikasi diri-Nya dengan kerapuhan manusia.
Sembari saya bermenung di depan lukisan ini, pesan di atas begitu kuat bergema dalam hati saya. Pertanyaannya, setelah semua yang Kristus lakukan dengan jalan mengidentifikasi diri-Nya dengan manusia untuk mendapat perspektif orang pertama, apakah kita juga rela melakukan hal yang sama bagi sesama kita? Apakah kita menumbuhkan perasaan solidaritas yang Kristus miliki, terutama bagi saudara-saudara kita yang sedang dalam kepayahan hidup? Jujur saja, hal ini sulit untuk dilakukan. Sebab, faktanya, kita tidak turut merasakan apa yang sesama kita rasakan, kecuali memang kita adalah bagian dari hidup orang tersebut. Oleh karena itu, penting untuk membudayakan kasih yang ada pada Kristus dalam diri kita, di mana kasih tersebut membuat seseorang mau berpartisipasi, menyusuri perjalanan kehidupan orang lain dari perspektif orang pertama, bahkan ketika hal tersebut berarti harus menjadi rapuh dan payah olehnya.
~Calvin adalah alumni Program Studi Administrasi Publik, Universitas Airlangga. Saat ini, ia melakukan kerja magang Pusat Pengkajian Reformed bagi Agama dan Masyarakat atau Reformed Center for Religion and Society (RCRS)