more"/> more">
Oleh Yusuf Deswanto,M.Div*)
“Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: ‘Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi’.”
(Kejadian 1:27-30)
“Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.”
(Kolose 1:15-16)
Metaverse; solusi di tengah pademi?
Apa yang berbeda dari kelompok-kelompok kecil yang saya pimpin selama dua tahun terakhir adalah perjumpaan tanpa kehadiran ragawi (disembodiment presence). Saya tetap bisa berkomunikasi dengan adik-adik KTB (kelompok tumbuh bersama) saya, tapi perjumpaan tanpa kehadiran fisik selama berbulan-bulan tentu akan mengurangi kedalaman dalam pengenalan satu dengan yang lain. Media, bagaimanapun majunya, tetap memiliki keterbatasan dalam mewujudkan pelayanan pemuridan yang inkarnasional (kata “inkarnasi” sendiri tidak bisa lepas dari embodiment).
Metaverse akhir-akhir ini menjadi isu yang trending bukan hanya di kalangan penikmat teknologi, tetapi juga di kalangan gereja atau pelayanan Kristen. Jika ibadah gereja selama ini hanya menghadirkan ibadah online dalam bentuk audio visual melalui media Zoom atau Youtube, Metaverse menjanjikan kehadiran yang lebih “utuh” meski tetap virtual, yaitu melalui kehadiran avatar – replika tiga dimensi perwujudan fisik kita dalam dunia maya. Mungkin kemudian para pelaku pemuridan di Perkantas mulai berpikir, apakah perjumpaan KTB dalam realitas maya akan lebih efektif menjawab kebutuhan embodiment presence, daripada sekadar pertemuan melalui Zoom atau tele-konferensi lain? Saya sendiri membayangkan, mungkin akan lebih asyik jika perjumpaan KTB bisa dilakukan di cafe yang tenang dan nyaman, meski dalam realitas virtual. Atau kita bisa buat janji dengan adik-adik KTB untuk olah raga bersama di taman kota yang indah, meski hanya dalam realitas visual. Bahkan “sang nabi” Metaverse, Mark Zuckerberg, menyatakan bahwa dunia metaverse adalah dunia imajinasi tanpa batas, yang akan menghadirkan real presence and deep feeling yang tidak akan kita temui dalam perjumpaan melalui layar.
Universe, Panggilan Mandat Budaya, dan Teknologi Dunia Virtual
Kemajuan teknologi menjadi pembeda antara manusia dengan mahluk ciptaan yang lain. Manusia diciptakan Allah dengan panggilan asali “menaklukkan” dan “berkuasa” atas bumi dan ciptaan yang lain. Teknologi sesederhana apapun adalah produk manusia untuk merespons panggilan untuk berkuasa atas ciptaan lain di bumi. Untuk menguasai bumi dan sekaligus bertahan di bumi, manusia menciptakan teknologi sebagai “penolong” baginya. Sebagai ciptaan manusia, teknologi selalu memiliki dua sisi dalam perkembangannya: sisi manfaat positif, dan sisi gelap yang manipulatif dan destruktif.
Revolusi Industri 4.0, sejak digemakan di Hannover Fair tahun 2011 di Jerman, telah membawa perubahan besar-besaran (disrupsi) dalam kehidupan manusia. Penggunaan teknologi internet dalam sebuah Internet of Systems, yang diracik dengan penggunaan sistem data (big data), ditambah teknologi machine learning dan AI (artificial inteligence) akhirnya sukses menggiring manusia memasuki gerbang realitas virtual (virtual reality). Pada Agustus 2012 dunia teknologi diramaikan oleh rilis dan kampanye penggunaan headset Virtual Reality (VR) oleh perusahaan yang bernama Oculus. Pengembangan headset/goggles VR ini sebenarnya sudah dilakukan sejak 1968 di Harvard University oleh Ivan Sutherland, yang kumudian dilanjutkan oleh VPL Research di tahun 1984. Kehadiran “kacamata” VR yang disebut “Rift” oleh Palmer Luckey (pendiri Oculus) ini, seolah mewujudkan novel fiksi ilmiah Neal Stephenson berjudul Snow Crash (1992) yang menggunakan istilah metaverse pertama kali.
Mark Zuckerberg pada Oktober 2017 mulai merilis Oculus Quest 1-2, dan mengatakan bahwa Metaverse akan menjadi masa depan “dunia baru” dalam internet bagi manusia. Ia mengganti nama perusahaannya dari Facebook menjadi Meta, serta menggelontorkan dana sebesar sepuluh milyar US dolar untuk pengembangan Metaverse ke depan. Selain Meta (dulu Facebook), sebenarnya ada beberapa perusahaan teknologi digital (tech-giants) yang akan bersaing dan berusaha menguasai dunia Metaverse, seperti Microsoft, Apple, dan Google.
Metaverse berasal dari dua istilah: “meta,” yang berarti beyond dan “verse,” yang berasal dari kata universe. Jadi Metaverse bisa dipahami sebagai “dunia” yang beyond the universe, “dunia” yang melampaui atau jauh keluar dari alam semesta yang ada. Metaverse bisa dimaknai sebagai “a shared virtual space beyond the universe,” sebuah ruang virtual untuk berbagi yang menerobos batas alam semesta. Metaverse merupakan impian berikutnya dari pengembangan virtual reality (VR) atau augmented reality (AR), dunia maya tiga dimensi. Jonathan J. Armstrong menggambarkan VR sebagai computer interface yang mampu menerima input dan mengeluarkan output dalam tiga dimensi, atau beberapa orang menyebutnya “komputer ruang” (space computer).
Pertanyaannya bagi kita kemudian adalah, apakah Metaverse layak untuk kita sebut sebagai “dunia alternatif,” dimana kita dapat melakukan semua aktivitas kita, terutama pelayanan dan ibadah? Apa sisi positif dan negatif dari pengembangan Metaverse ke depan? Bagaimana juga kita menyikapi dan memanfaatkan Metaverse dan segala realitas virtual yang akan menjadi gaya hidup manusia ke depan?
Universe versus Metaverse
Menyikapi perubahan kehidupan manusia yang dipengaruhi perkembangan teknologi internet seperti Metaverse, setiap kita dituntut untuk berhati-hati dalam menyikapi dan memanfaatkan teknologi ini. Ada dua sikap ekstrim yang harus kita hidari dalam memanfaatkan teknologi VR seperti Metaverse. Pertama, sikap yang gegabah, yang dengan serta merta mempercayakan dan menenggelamkan hidup kita dalam teknologi ini. Harus diakui bahwa banyak orang Kristen dan bahkan gereja kemudian “latah”, dengan dalih ingin terdepan, langsung “mencemplungkan” diri dalam realitas virtual ini, seolah-olah itulah “universe” atau alam semesta yang baru. Sikap yang berlawanan dengan sikap pertama adalah sikap anti-teknologi, yang menolak “mentah-mentah” semua perkembangan teknologi internet, termasuk VR dan Metaverse. Sikap ekstrim ini melihat semua teknologi dan turunannya adalah semata-mata jahat, sehingga harus dijauhi. Sikap yang demikian akhirnya melahirkan pribadi yang bukan saja kerdil dan sempit, tetapi juga kurang menangkap esensi Mandat Budaya Allah dalam Kejadian 1:28-29.
Dalam segala keterbatasan, ada beberapa catatan kecil yang bisa disajikan dalam tulisan ini, untuk memberi sumbangsih pemikiran berkaitan dengan sikap kita dan bagaimana kita mengarahkan pelayanan pemuridan ke depan, di tengah perkembangan teknologi VR dan Metaverse secara khusus. Yang pertama, hal yang harus kita tanamkan dalam benak kita dan generasi yang kita muridkan (termasuk anak-anak kita – bagi alumni), Metaverse dalam perkembangannya yang paling canggih sekalipun, tidak bisa dibandingkan dengan realitas the universe – alam semesta yang Allah ciptakan. Metaverse bukanlah the alternate universe, bahkan sama sekali bukan realitas yang sesungguhnya. Pendidikan keluarga, pengajaran gereja, dan pemuridan generasi muda harus memperhatikan kebutuhan generasi anak-anak kita akan pemahaman realitas dunia ciptaan Allah. Teologi Penciptaan dalam kaitannya dengan Metanarasi Alkitab (Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan-Pemuliaan) harus menjadi kerangka pemikiran kita pribadi, serta kerangka ajaran dan pendidikan kita di tengah keluarga, gereja, termasuk pelayanan Perkantas.
Dalam salah satu bab buku Virtual Reality Church; Perangkap dan Peluang, Bock dan Armstrong memaparkan satu isu mendasar dalam VR atau Metaverse: hakikat virtualitas. Ada tiga hal penting yang saya pikir penting disajikan di sini. Pertama, VR adalah virtual. Natur dari virtualitas adalah simulasi; yaitu simulasi terhadap pengalaman-pengalaman inderawi manusia yang disusun berdasar data yang diimput ke dalam teknologi yang digunakan untuk “masuk” dan “mengalami” dunia virtual tersebut. Bock dan Amrstrong dengan tepat mengatakan bahwa orang yang memahami dengan tepat bahwa realitas virtual adalah ruang virtual tidak akan mau dibodohi dengan menganggap VR atau Metaverse adalah realitas yang sesungguhnya. Hal kedua, yang menarik adalah bahwa VR merupakan simulasi indera pengalaman, tetapi tidak dapat secara langsung menghadirkan konsep-konsep abstrak. Keterbatasan VR ini membawa kita pada kesimpulan bahwa semua yang terjadi di dalam Metaverse adalah data empiris yang merupakan tiruan yang riil, yaitu segala yang ada di dunia ciptaan Allah. Ketiga yang juga menarik dari hakikat vitualitas adalah, dalam Metaverse pengguna tidak akan teridentifikasi, kecuali ia sendiri mengidentifikasikan diri dengan jujur. “Orang-orang bisa memilih masuk ke dalam panggung sosial VR sebagai avatar yang merefleksikan sebagaimana mereka terlihat di dunia nyata atau sebagai lobster berwarna ungu.” Hakikat ini menjadi titik krusial yang penting untuk kita memahami bahwa Metaverse bisa menjadi “ruang eskapis” (pelarian) pribadi-pribadi yang ingin memanipulasi realitas hidupnya.
Pemikiran kedua yang ingin saya bagikan di sini adalah dalam aspek pelayanan Kristen secara luas, baik ibadah gereja maupun aktivitas pelayanan yang lain seperti kelompok kecil (KTB), Metaverse dapat dimanfaatkan dengan kesadaran akan keterbatasannya. Metaverse sebagai sebuah “ruang simulasi” masih sangat terbuka untuk pengembangan pelayanan seperti perjumpaan KTB, dengan tanpa mengesampingkan pertemuan tatap muka secara langsung. Metaverse akan menjadi semacam perjumpaan penuh kreativitas untuk menyampaikan informasi yang otentik, namun di sisi lain Metaverse mempunyai keterbatasan dalam membangun pengenalan yang otentik dan pelayanan yang inkarnasional. Bahkan Pdt. Dainel Lukas Lukito menyebutkan bahwa Metaverse berpotensi menjadi ruang “excanation” (lawan dari inkarnasi) dan semua pelayanan yang dilakukan di dalamnya bersifat “disembodiment”. Sifat virtualitas yang dapat memfasilitasi komunikasi lintas budaya adalah sebuah peluang besar untuk menjadikan Metaverse menjadi “ladang pemberitaan Injil.” Meski belum ada pengalaman dan riset empiris terhadap peluang ini, pemanfaatan missional dari Metaverse ini tetap merupakan peluang besar, mengingat potensi dunia Metaverse yang akan dihidupi kaum eskapis.
Kesimpulan: Menghayati Metanarasi Alkitab
Apa yang di benak saya ketika diajak berpikir tentang fenomena Metaverse untuk pertama kalinya adalah keterkaitannya dengan istilah “Metanarasi”. Pada saat mengusulkan dan merancangkan tema tulisan ini kepada rekan saya Ria Agustina, langsung secara spontan saya memberikan tema “Metaverse vs. Metanarasi.” Jujur saya belum melihat kaitannya pada saat itu, kecuali adanya kesamaan penggunaan kata “meta” di keduanya. Namun ketika secara teologis saya merenungkan fenomena Metaverse dalam kebenaran Allah, saya makin yakin bahwa pelayanan pemuridan kita (dalam arti luas) tidak boleh hanya bertumpu pada satu-dua, atau beberapa bagian ayat Alkitab.
Kita harus merespons segala fenomena dan perkembangan teknologi yang mau tidak mau akan merubah lanskap hidup kita dan dalam kita merespons panggilan Allah di tengah dunia ini. Karena itu, pemahaman kita akan “Kisah Besar” yang membingkai seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) menjadi fondasi yang penting dalam pengasuhan, pendidikan, dan pengajaran kita di tengah keluarga, gereja dan pelayanan Perkantas sendiri. Kesadaran kita akan segala realitas dalam kerangka kerja Sang Pencipta dan Penebus kita; yaitu Penciptaan Allah akan dunia ini, Kejatuhan Manusia dalam dosa, Penebusan Kristus atas manusia dan seluruh ciptaan, serta Pemuliaan manusia dan segala ciptaan-Nya, harus mengisi pikiran dan relung hati kita (penghayatan), dan kemudian menjadi warisan penting bagi anak-anak kita.
Selamat berselancar di dunia virtual, sambil tetap “waras” akan realitas kehidupan dalam metanarasi-Nya.
*)Penulis melayani pelayanan Mahasiswa Perkantas Jember
The Metaverse and How We’ll Build It Together -- Connect 2021, t.t., diakses Maret 11, 2022, https://about.facebook.com/meta. Anda dapat memperhatikan presentasi Mark Zuckerberg tentang Metaverse yang ia promosikan dalam website nya.
Darrell L. Bock dan Jonathan J. Armstrong, Virtual Reality Church; Perangkap dan Peluang (Jakarta: Literatur Perkantas, 2021), 46–47.
Daniel Lukas Lukito, “Tinjauan Teologis Terhadap Metaverse,” t.t., 6–7.
Bock dan Armstrong, Virtual Reality Church, 49.
Pembahasan oleh Prof. Darrell L. Bock dan Jonathan J. Armstrong dalam buku Virtual Reality Church; Perangkap dan Peluang adalah sebuah pemaparan yang sangat komprehensif yang dapat menjadi acuan pemikiran yang utuh.
Bock dan Armstrong, Virtual Reality Church, 154.
Lukito, “Tinjauan Teologis Terhadap Metaverse,” 11–12.